“Karen, besok kamu jangan buang kertas ujian kamu lagi ya. Bukan masalah nilai rendah yang membuat kita malu. Tetapi saat kamu membuangnya ataupun menyembunyikannya. Secara tidak langsung kamu menunjukan bahwa orangtua kamu pasti sangat jahat sama kamu lho.” Terang mama sambil berbaring disebelahku.
“Engga sengaja ma tertinggal ditas dia.” Aku masih berusaha beralasan.
“Ya uda kalau benar begitu. Besok simpan baik – baik ya dan belajar lebih baik lagi.” Mama mulai mengelus kepalaku dengan lembut.
“Humm…” jawabku pelan.
Pagi ini papa yang akan mengantarkanku kesekolah. Aku sudah tidak melihat wajah marahnya lagi dan sepanjang pagi juga sudah tidak ada pembahasan akan kertas ujian tersebut. Kami berangkat seperti biasa, dan papa selalu memberikanku jajan setibanya disekolah sebelum aku masuk kedalam kelas.
Aku mulai suka bermain. Bukan bermain dengan teman. Melainkan dengan robot – robot keluaran terbaru. Kulihat tabunganku yang tidak seberapa dan ingin rasanya aku membeli mainan yang dijual didepan sekolah. Apakah aku akan kena marah jika meminta pada papa, atau sebaiknya aku minta pada mama uang jajan lebih. Mungkin lebih baik aku minta mainan saat aku naik kelas 5 nanti.
Aku mulai terbiasa mencintai kesendirianku semasa SD hingga hari kenaikkan kelas. Seperti biasa papa selalu mengambil raporku terakhir setelah Willy. Aku masuk kedalam kelas dan menunggu namaku dipanggil. Kuperhatikan papa yang menunggu sambil melihat – lihat rapor Willy. Dia pasti sangat bangga padanya.
Tidak lama kemudian, guru waliku memanggil namaku dan aku maju mengikuti papaku yang kedepan dengan cepat. Waliku melihatku sebentar lalu melihat papa. Dibukanya raporku dan hal yang kulakukan adalah melihat rankingku dikolom paling bawah. 35 dari 38 !
Waliku mulai menjelaskan bahwa diriku adalah pribadi yang pendiam, tidak bisa membuat tugas kelompok dan selalu tertidur dikala jam pelajaran. Papa tampak terkejut, dia pasti binggung antara mempercayai nilai pada kertas ujianku atau raporku yang kini berada didepan matanya.
Setelah wali siap memberikan keterangan tentang semua kekuranganku, dan terlebih wali kelas 4 ini juga sempat membandingkanku dengan Willy karena mengetahui kami bersaudara, membuat papaku terlihat lebih marah padaku. Untungnya aku bisa naik kelas. keinginanku untuk meminta dibelikan mainan lenyap seketika. Kami langsung pulang dan sepanjang perjalanan kami hanya ada keheningan.
Pintu belakang dibuka, aku berlari keruangan depan dan duduk dikursi panjang itu. Papaku mulai mengamuk pada mama. Suara mereka terdengar begitu jelas olehku. Papa menyalahkan mama yang selalu memintaku menemaninya hingga larut malam. Samar kudengar suara perlawanan mama, dan tiba – tiba bunyi kaca pecah tidak terelakan. Kulihat Willy berlari kedepan dan pergi dari rumah ! semua karena aku !
(to be continue…)