Setelah puas membagi rata tempat duduk yang ada, bu Sumi kini membagikan selembaran kertas putih kepada masing – masing kami. Dia mulai memberikan instruksi kepada kami sambil mempraktekkan apa yang sedang dia katakan.
Bu Sumi mengambil sebuah pensil dan mengangkatnya tinggi – tinggi sehingga semua murid dapat melihatnya. Kami mulai mengikuti setiap gerakan bu Sumi didepan kelas. Belajar mendengar dan memahami, itulah yang diajarkan bu Sumi dihari pertama kami.
Aku menuliskan namaku dengan susah payah dikertas putih tersebut dan bu Sumi menyuruh kami semua menulis alphabet dari A hingga Z didalam kertas tersebut. Hal yang aku ingat adalah bagaimana menyanyikannya, Untuk menulisnya secara berurutan sangat sulit kulakukan.
Bu Sumi lalu memberikan isyarat untuk berhenti menulis. Selesai sudah kehidupanku. Aku hanya menulis beberapa huruf didalam kertas tersebut. Aku tidak berani mengintip kesebelahku. Bu Sumi lalu menyuruh kami menukarkan kertas yang sudah kami tulis dengan teman sebelah kami.
Cowok itu memberikan kertasnya begitu saja padaku tanpa melihat kearahku. Tanganku mengambilnya dan memberikan kertasku padanya. Kertasnya terisi penuh dengan huruf besar – besar. Dia menuliskan dengan lengkap, berbeda jauh denganku.
Aku membaca namanya dengan susah payah. V-I-N-O. namanya Vino ! Kuyakinkan diriku dengan apa yang kubaca didalam kertas tersebut. Kulirik dia yang hanya diam dan tangannya asik mencoret kertasku. Aku tidak berani meminta kertas tersebut darinya ataupun mengadu pada bu Sumi.
Bu Sumi mulai menuliskan alphabet tersebut dengan lengkap dipapan dan meminta kami mencocokannya dengan kertas yang ada ditangan kami. Tambah jika kurang, dan hapus jika salah ataupun terbalik. Saat aku mencocokan kertas Vino dengan papan tulis, alangkah terkejutnya aku saat mengetahui jawaban dia cocok semua. Dia pasti anak pintar !
Vino mengembalikan kertasku tidak lama kemudian. Disana tercoret dengan kasar semua hasil pekerjaanku. Kutatap dia dan dia menatapku kembali.
“Bodoh !” katanya, lalu membuang mukanya.
Sabar Karen. Aku berusaha menenangkan hatiku. Dia akan menjadi teman terburukku.
Bel pulang berbunyi. Hari pertama sekolah selalu menjadi hari yang paling menyenangkan karena hanya berisi pengenalan lingkungan dan hal sederhana lainnya.
Kusimpan peralatan menulisku kedalam tas dan kulihat Vino yang masih duduk dengan santainya. Jika tadi pagi dia adalah anak yang sangat membenci sekolah, sekarang dia sudah berubah layaknya anak kutu buku yang selalu pulang terakhir dari kelas. Aku tidak berbicara sama sekali dengannya dan memutuskan langsung keluar dari kelas.
Kucari sosok mamaku diantara kerumunan orangtua dan tidak bisa kudapati. Aku duduk disalah satu kursi tunggu yang berada tidak jauh dari batas menjemput orangtua. Ada sedikit perasaan sedih muncul didalam hatiku setiap kali kulihat wajah bahagia anak – anak seusiaku yang dijemput oleh papa mereka. Kenapa aku begitu berbeda dengan Willy ?
Apakah aku bukan anak papa. Wajah kami juga sangat berbeda.
Willy memiliki rambut ikal sementara rambutku lurus dan dipotong bulat seleher. Mata Willy sungguh besar dan indah, sementara mataku hanyalah ½ dari ukuran matanya. Willy juga memiliki lesung pipi pada senyumannya, sementara aku hanya mengandalkan double chinku saja.
Gigi willy tersusun dengan rata dan bersih, sementara gigiku sudah mulai menghitam dan tidak ada uang untuk memperbaikinya. Badan Willy tergolong tinggi dan berisi, sementara aku begitu pendek dan kurus. Jika kami berdua disejajarkan, tidak akan ada yang percaya bahwa kami sebenarnya bersaudara.
“Karen !!” panggilan mama mengejutkanku dan membuyarkan semua khayalanku seketika.
Aku melihat mama yang sudah berada dipagar batasan menjemput. Aku tidak sadar sudah berapa lama aku duduk disana dan sibuk dengan khayalanku. Sekelilingku mulai sepi dan aku segera menghampiri mamaku. Kami berjalan kekantin untuk melihat titipan kerupuk kami sebelum menempuh perjalanan pulang dibawah teriknya matahari pagi.
Hal yang paling aku sukai saat sampai dirumah adalah langsung merebahkan badanku kekasur. Jika Willy tidak ada, maka aku bisa langsung tidur. Berbeda jika ada Willy didalam kamar, dia akan memarahiku dan menyuruhku untuk mandi terlebih dahulu sebelum kekasur.
Sementara yang kulihat adalah dia sering melakukan hal yang sama. Langsung tidur saat sampai dirumah. Kenapa dia tidak memberikan contoh yang baik padaku ! aku merasa selalu salah dimatanya !
Aku melalui hari – hariku dengan melihat mama bekerja dan Willy yang asik bermain dengan tetangga. Dari bermain kelereng, pistolan hingga petak umpet. Dan aku tidak pernah diberikan kesempatan untuk ikut.
Aku hanya bisa melihat tawa bahagia anak – anak tersebut dari balik kaca. Aku pernah bertanya pada mama, apakah aku boleh bermain dengan tetangga, dan mama tidak pernah memberikanku izin.
Pernah suatu hari aku keluar rumah dan berkata pada mereka bahwa aku ingin ikut bermain, namun selalu perkataan yang kudengar adalah kami sudah pas jumlahnya.
Akhirnya hal yang aku lakukan setiap sore adalah ikut dengan mamaku pergi menitipkan kerupuknya dan berkeliling dijalan raya bertemankan payung ditangan agar tidak kepanasan. Sementara Willy bisa tidur dengan senangnya dirumah dan bermain ketika ingin bermain. Aku sadar dia pasti sangat membenciku karena penampilanku yang sungguh berbeda.
Disekolah aku juga bukanlah anak yang bisa berteman, masa SD membuat aku semakin larut dalam kesendirianku, hal yang bisa kulakukan hanyalah menghayal.
Tugas kelompok juga menjadi hal yang sangat kubenci karena tidak ada satupun anak yang mau berkelompok denganku. Berbeda jika tugas kelompoknya ditentukan oleh guru, pembagian kelompok yang dibuat oleh guru selalu membuatku lega karena aku tidak akan sendirian, dan kenyataan yang aku dapatkan adalah kelompok tersebut merasa begitu sial jika memiliki aku didalam team mereka.
Tidak hanya menolak diriku, mereka juga suka mengejekku. Anak lainnya hanya tertawa dan sesekali ikut meledekin. Meskipun guru berkeras kami satu team, disana aku tidak pernah mendapatkan pengakuan ataupun informasi apapun tentang tugas yang mereka kerjakan.
Bu Sumi selaku wali kelasku selalu memperhatikanku. Aku tidak menyangka dibalik wajahnya yang galak dan badannya yang kurus, dia akan menjadi guru yang sungguh berjasa bagiku. Jika bisa kukatakan dengan jujur, bu Sumi adalah guru yang selalu memarahiku dan menghukumku.
Tidak ada hari dimana aku pulang tanpa satupun tugas darinya. Dia selalu menyuruhku menulis disebuah buku kosong ! Dan tentunya bukan hanya satu halaman, terkadang dia menyuruhku menulis hingga 5 atau 10 halaman. Aku selalu mengerjakannya meskipun hati bertanya – tanya alasan dia menghukumku begitu. Anak lainnya tidak pernah diperlakukan begitu.
Aku mulai memiliki jadwal sekolah normal dan aku mulai belajar menata waktuku. SD memiliki 2x jam istirahat dan aku tidak pernah membawa makanan sama sekali dari rumah. Mama hanya memberikanku uang 500 rupiah, dan aku bisa mendapatkan snack sebungkus beserta 2 butir permen karet dikantin.
Jika dibandingkan dengan rutinitasku, aku selalu kelaparan ditengah waktu istirahat. Aku hanya melihat anak lain bisa makan nasi dengan enaknya dan minum apapun yang mereka suka. Aku tidak pernah meminta uang lebih dari mama karena aku tahu pasti bahwa menyekolahkanku saja sudah merupakan hal yang berat baginya.
Aku tidak tahu kenapa orang tidak mau berteman denganku. Aku menghabiskan hari – hariku disekolah dengan mengambar dan belajar menulis. Aku juga suka berimajinasi. Waktu selalu terasa berjalan begitu cepat setiap kali aku asik dengan pikiranku.
Aku tidak ragu membayangkan jika aku berada diposisi Willy ataupun berubah menjadi Vino. Bayangan yang terbentuk dikepalaku membuat aku tertawa sendiri dan sebagian anak selalu melihatku dengan pandangan aneh.
Kelas 1C bagiku adalah kelas yang tidak memberikan arti bagi kehidupanku karena aku tidak memiliki teman seorangpun kecuali bu Sumi yang selalu menghukumku dikala itu.
Secara tidak langsung, bu Sumi membuatku pandai menulis sedikit demi sedikit. Aku mulai paham bahwa tidak semua hal jahat yang dilakukan orang pada kita selalu memiliki maksud jahat bagi kehidupan kita.
(to be continue….)